Bab 12 Perilaku Emosional


Modul 12.1
Apakah Itu Emosi 

            Ketika anda merasakan emosi yang kuat , anda cenderung melakukan sesuatu dengan penuh semangat. Jika anda takut maka anda ingin melarikan diri secepat mungkin , jika anda marah maka anda ingin menyerang siapapun , jika anda senang maka anda akan memeluk seseorang yang berada di dekat anda.

Kita pertimbangkan kasus dibawah ini :

 Anda sedang tertidur ketika mendengar seseorang membobol masuk ke dalam rumah anda mungkin diam tak bergerak , ketakutan , tetapi jantung berdebar-debar sangat kencang , anda mungkin akan berdiam diri dan berharap pembobol rumah pergi serta tidak menyadari kehadiran anda, tetapi anda juga siap untuk melarikan diri , menyerang , atau melakukan apapun yang menurut anda perlu. Tentunya hal ini telah membangkitkan emosi dan juga telah menyita perhatian anda.

            Singkatnya, sulit untuk membayangkan emosi yang tidak dibarengi dengan kesiapan untuk melakukan tindakan. Sebagian besar teori umum tentang emosi ini membahas mengenai hubungan antar emosi dan tindakan.

Emosi , Respons Autonom , dan Teori James- Lange

Bentuk – bentuk emosi seperti ketakutan , meliputi 3 aspek :
  1. 1.      Aspek Kognisi = Situasi Berbahaya
  2. 2.      Kesigapan untuk melakukan tindakan ( menghindar )
  3. 3.      Perasaan

Kesigapan untuk melakukan tindakan bergantung pada system saraf autonom yang memiliki  2 percabangan :

1.      system saraf simpatetik
2.      system saraf parasimpatetik.
           
            System saraf simpatetik mempersiapkan tubuh untuk respons yang singkat , intens , dan “ melawan atau melarikan diri “ yang penuh semangat. Sedangkan system saraf parasimpatetik meningkatkan pencernaan dan proses lain yang bertujuan mengonservasi energy serta menyiapkan diri untuk peristiwa selanjutnya. Akan tetapi tiap-tiap situasi memerlukan pembangkitan system saraf simpatetik dan parasimpatetik dengan campuran yang unik ( Wolf, 1995 ).
Bagaimana kaitan antara system saraf autonomy terhadap emosi ?

            Menurut akal sehat ; pertama-tama emosi dirasakan oleh perasaan, kemudian perasaan mengubah laju detak jantung serta respon lain-nya. Sebaliknya, menurut teori James-Lange ( James, 1884 ), pembangkitan aksi autonom dan otot-otot rangka muncul terlebih dahulu, sedangkan emsoi yang kita alami hanya merupakan label yang kita berikan untuk respons yang kita berikan.

            Pada laporan penelitian James-Lange ( 1894 ) menegaskan emosi memiliki 3 komponen yaitu : kognisi , tindakan , dan perasaan. Aspek kognisi muncul terlebih dulu. Anda menilai sesuatu baik atau buruk , menakutkan atau mengganggu , dan proses tersebut sering kali berlangsung dengan sangat cepat.

            Penilaian anda tentang sesuatu akan menimbulkan tindakan , seperti lari menjauh , menyerang , atau hanya diam terpaku dengan jantung begetar kencang. Ketika William James mengatakan bahwa pembangkitan dan tindakan menghasilkan emosi, maka yang james maksud adalah dengan tindakan ini adalah aspek perasaan dari emosi hal ini sesuai dengan penjelasan dibawah ini .



    --KEJADIAN  --- PENILAIAN ( KOGNITIF )  ---    TINDAKAN ( ASPEK PERILAKU TERMASUK FISIOLOGIS ) ---   PERASAAN EMOSI
   
            Teori James- Lange memicu 2 perkiraan , yaitu orang-orang yang memiliki autonom atau respons rangka yang lemah seharusnya merasakan lebih sedikit emosi dan pemicuan atau peningkatan respons seseorang dapat meningkatkan suatu emosi.


Apakah Pembangkitan Fisiologis Dibutuhkan Untuk Emosi ?

            Individu yang mengalami kerusakan pada sumsum tulang belakang akan menjadi lumpuh , sebagian besar individu yang mengalami kelumpuhan seperti itu melaporkan bahwa mereka masih merasakan emosi yang kurang lebih sama dengan sebelum terjadinya kecelakaan ( Cobos, Sanchez, Perez , & Vila, 2004 ). Akan tetapi , kelumpuhan tidak memengaruhi system saraf autonom , sehingga masih ada kemungkinan bahwa perasaan emosional bergantung pada respons autonom.

            Pada penderita kondisi langka yang disebut kegagalan autonom murni ( Pure autonomic failure ), keluaran dari system saraf autonom yang menuju otak gagal berfungsi secara total atau sebagian. Detak jantung terus berlangsung , namun system saraf tidak lagi mengendalikan-nya. pada kondisi penderita kegagalan autonom murni juga tidak mengalami perubahan pada laju detak jantung , tekanan darah , atau proses berkeringat selama terjadinya stress psikologi apa pun atau tantangan fisiologis.

            Berdasarkan teori James – Lange , seharusnya mereka tidak memiliki perasaan sama sekali , ternyata penderita melaporkan bahwa mereka merasakan emosi sama seperti orang lain dan mereka tidak kesulitan untuk mengenali kemungkinan emosi sebuah karakter dalam suatu cerita ( Heims , Critchley , Dolan , Mathias , & Cipolotti , 2004 ).

Apakah Pembangkitan Fisiologis Cukup Untuk Emosi ?

            Berdasarkan Teori James – Lange, perasaan emosional dihasilkan oleh tindakan tubuh kita. Jika jantung anda tiba-tiba berdegup kencang dan nafas anda memburu serta berkeringat, apakah anda akan merasakan sebuah emosi ? jawaban-nya adalah tergantung pada beberapa hal. Jika semua perubahan tersebut terjadi setelah berlari sejauh 1 mil, maka perasaa emosional ini berkaitan dengan olahraga daripada emosi.

            Akan tetapi , jika perubahan tersebut terjadi secara spontan, maka mungkin anda akan menginterpretasikan peningkatan pembangkitan system saraf simpatetik sebagai ketakutan. Khusunya nafas yang memburu , akan membuat orang khawatir akan kehabisan nafas dan mengalami serangan panic yang ditandai oleh pembangkitan ekstrem system saraf simpatetik. ( Klein , 1993 ).

            Peneliti juga menemukan cara yang cerdas untuk meminta orang menyeritakan tanpa memerintahkan mereka. Peneliti mengatakan bahwa penelitian tersebut bertujuan untuk mengukur kemampuan orang dalam melakukan 2 hal secara bersamaan, dalam hal ini ada tugas kognitif  dan motoric.

            Tugas kognitif adalah memeriksa sejumlah foto dan menilai seberapa menyenangkan atau tidak menyenangkan foto-foto tersebut. Untuk tugas motoric-nya, peneliti memasangkan penahan bola golf ke kedua alis individu yang akan diuji dan mereka diminta untuk berusaha mempertemkan kedua ujung bola golf yang ada di alis mereka.

            Pada studi lain , partisipan diminta untuk mengikuti pola bernapas tertentu ( Phillippot , Chapelle , & Blairy , 2002 ) atau postur tertentu ( Flack , Laird , & Cavallaro , 1999 ). Sebagai contoh , untuk memicu kesedihan , partisipan tersebut diminta berulang-ulang atau duduk dengan kepala menunduk dan tubuh yang dilemaskan , alis diturunkan , dan bibir bawah dimajukan. 

             Partisipan melaporkan adanya perasaan emosional yang ringan. Umumnya berkaitan dengan instruksi , walaupun ada yang melaporkan timbulnya rasa marah ketika mereka seharusnya melaporkan rasa takut atau melaporkan timbul-nya rasa ketika mereka seharusnya melaporkan rasa takut atau , melaporkan rasa takut. Kita seharusnya tidak terkejut dengan hal tersebut karena respons fisiologis semua emosi saling tumpeng-tindih ( ling 1994 ).

            Secara keseluruhan, hasil-hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa persepsi kita mengenai tindakan tubuh berkontribusi terhadap perasaan emosional kita , seperti yang telah dikemukakan oleh teori James- Lange. Hasil tersebut bukan berarti bahwa umpan balik dari tubuh cukup untuk membedakan tiap emosi, misalnya antara ketakutan dan kemarahan. Peng-identifikasikan tiap emosi membutuhkan aspek Kognitif dan teori James-Lange tidak menyangkal-nya.


Area Otak Terkait Emosi

Apakah emosi yang berbeda meng-Aktivasi area otak yang berbeda ? selain itu , area otak mana yang memberikan reaksi terkuat terhadap emosi ?

Usaha Untuk Melokalisasi Emosi Yang Spesifik

            Pada awal-nya system-limbik – area otak depan yang mengelilingi hipopotalamus – telah dianggap sebagai area otak paling penting untuk emosi. Sebagian besar korteks serebrum bereaksi terhadap situasi emosional. Sejumlah studi telah melibatkan sekelompok individu yang mengamati foto, mendengarkan cerita , atau mengingat pengalaman pribadi yang di- asosiasikan emosi tertentu.

            Para peneliti menggunakan PET atau teknik Fmri untuk meng-identifikasi area korteks yang lebih aktif selama periode netral. Korteks frontal dan temporal mengandung banyak titik dan penelitian lain juga mengungkap-kan bahwa area tersebut berperan penting untuk emosi ( Kringelbach , 2005 ).

            Penelitian tambahan telah memeriksa pembangkitan aktivasi otak selama keadaan emosi lain , termasuk cinta ( Aron dkk , 2005 ) , rasa malu dan rasa bersalah ( Takashi dkk , 2004 ) , penilaian moral (Greene, Nystrom, Engell, Darley & Cohen ), dan antisipasi untuk memperoleh imbalan ( Z.M Williams, Bush, Rauch, Congrove, Eskandar ).

            Pendekatan lain adalah memantau aktivitas listrik di berbagai area otak dengan menggunakan EEG atau teknologi yang serupa, yang digunakan ketika individu mengamati gambar atau stimulus emosional lain-nya. Dalam waktu setengah detik setelah diperlihatkan-nya stimulus, tiap emosi sudah dapat mengaktivasi area otak yang berbeda ( Esslen, Pascual-Marquil,Hell,Kochi, & Lehmann, 2004 ).

            Dari semua emosi yang ada , terdapat 1 emosi yang memiliki bukti kuat bahwa terdapat lokalisasi emosi pada otak, yaitu rasa muak. Korteks Insular atau insula mengalami aktivitas tinggi apabila anda melihat sebuah gambar yang memuak-kan atau ketika melihat ekspresi wajah orang lain yang jga merasa muak, artinya jika anda melihat seseorang merasa merasa muak, maka anda dapat merasakan-nya.


Kontribusi Belahan Otak Kiri dan Kanan
            Menurut Jeffrey Gray ( 1970 ), aktivitas belahan otak kiri, terutama pada lobus frontal dan temporal-nya berkaitan dengan system aktivasi perilaku ( Behavioral Activation System ). Hal ini tersebut ditandai dengan peningkatan aktivitas ( saraf ) autonom dari level rendah hingga tinggi dan kecenderungan untuk mendekat ( ke orang lain ). Yang dapat mengindikasikan kesenangan atau kemarahan.

            Peningkatan aktivitas lobus frontal dan temporal otak bagian kanan di-asosiasikan dengan system Inhibisi Perilaku ( Behavioral Inhibition System ) yang meningkatkan perhatian dan pembangkitan, tindakan, dan menstimulasi emosi, antara lain rasa takut dan muak.

            Perbedaan dari kedua peningkatan aktivitas tersebut adalah jika dibagian aktivitas bagian otak kiri individu cenderung lebih bahagia, mudah bergaul, dan lebih suka bersenang-senang. Sedangkan, jika dibagian aktivitas otak kanan individu cenderung lebih mudah mengalami emosi, lebih tertutup, dan tidak puas dengan hidup.

            Belahan otak kanan seperti-nya lebih responsive dibanding belahan otak kiri. Misalnya ketika seseorang mengamati wajah, perhatian yang dicurahkan untuk mengenali ekspresi emosi akan meningkatkan aktivitas korteks temporal belahan otak kanan ( Narumoto, Okada, Sadato, Fukui, & Yonekura, 2001 ). Akan tetapi pada penderita kerusakan korteks temporal belahan otak kanan mengalami kesulitan mengenali ekspresi emosi orang lain atau menentukan apakah 2 orang memiliki ekspresi yang sama atau berbeda ( Rosen dkk, 2002 ).

Fungsi Emosi

            Apabila dalam proses evaluasi kita mengembangkan kemampuan untuk mengalami dan mengekspresikan emosi , maka emosi pastinya merupakan karakter adaptif bagi nenek moyang kita dan kemungkinan besar juga bagi diri kita sendiri. Apakah manfaat emosi itu ?

            Beberapa emosi tertentu memiliki fungsi yang jelas , rasa takut memperingatkan kita untuk menghindar dari bahaya. Rasa marah membuat kita menyerang pengganggu. Nilai adaptif dari rasa senang, sedih, dan emosi-emosi lain-nya tidak terlalu jelas manfaat-nya, walaupun peneliti sudah mengajukan beberapa kemungkinan.

            Perlu di-ingat lagi bahwa emosi dapat menjadi panduan yang sangat berguna bagi kita ketika membuat keputusan yang cepat. Walaupun sering kali penekanan terhadap respons emosi adalah hal yang terbaik, terkadang “ perasaan “ adalah panduan yang berguna.

            Bagi individu yang menderita kehilangan emosi yang parah sering kali membuat keputusan yang buruk. Pada tahun 1994, Antonio Damasio memeriksa seorang pria yang menderita kerusakan pada bagian korteks prefrontal yang hampir tidak memperlihatkan emosi apapun. Tidak ada hal yang membuat ia marah, dan pria ini tidak juga terlalu bersedih, bahkan terhadap kerusakan otak-nya sendiri. 
             
             Pria tersebut menjadi individu yang tidak rasional dan sering membuat Modul 12.2
Perilaku menyerang dan menghindar

Perilaku menyerang

Perilaku menyerang dapat berupa serangan babi buta penuh emosi
Atau serangan yang tenang dan dingin. Sebagai conyoh, terkadang individu melakukan serangan “berdarah dingin” untuk mendapatkan imbalan finansial. Kita tidak dapat berfikir bahwa hanya ada satu penjelasan untuk semua perilaku agresif

Sebagian besar perilaku menyerang dipicu oleh rasa nyeri,ancaman dan peristiwa yang tidak menyenangkan,tetapi perilaku menyerang bergantung pada pelaku dan situasi-nya. Setelah mengalami sebuah hinaan atau bentuk provokasi lain-nya seseorang dalam hitungan menit akan menjadi lebuh agresif dari biasanya,dan bisa jadi bukan hanya kepada provokator saja.

Kekerasan dan kaitannya dengan pewarisan sifat dan lingkungan

Baik kembar di-zigot maupun monozigot,menyerupai satu sama lain dalam hal kenakalan anak-anak dan remaja. Akan tetapi dalam hal kejahatan di masa dewasa,monozigot lebih mirip satu sama lain dibanding di-zigot.

Dalam hal ini factor prenatal yang penting adalah kebiasaan merokok ibu yang sedang mengandung. Dua studi mengungkapkan bahwa semakin banyak rokok yang dihisap oleh seorang ibu meningkatkan  kecenderungan tindakan criminal anak laki-laki yang dikandung pada saat anak itu memasuki masa remaja atau dewasa 
( brennan,Grekin, &Mednick,1999,Fergusson,Woodward & Horwood,1998 ). 


Gen juga dapat meningkatkan probabilitas tindakan criminal. Salah satunya adalah pengaruh gen terhadap ukuran tubuh sehingga meningkatkan kemungkinan kemenangan individu dalam pertengkaran. Gabungan antara factor lingkungan dan genetic. 

Sebuah studi yang mempelajari anak asuh mengungkapkan bahwa anak asuh memiliki probabilitas tinggi untuk berperilaku agresif adalah anak yang memiliki orang tua yang memiliki catatan criminal dan orang tua yang mengalami perpecahan dalam perkawinan,depresi,penyiksaan atau masalah hukum,sedangkan predisposisi biologis atau keluarga yang mengalami gangguan hanya akan menimbulkan pengaruh moderat.

Hormon

           Sebagian besar perkelahian yang terjadi dalam kingdom Animalis adalah 
           perkelahian antara dua jantan untuk memperebutkan betina atau betina untuk
           mempertahankan anak-anak mereka.

Begitu pula yang terjadi di seluruh dunia,pria lebih sering mengeluarkan hinaan kepada pria lain,dan lebih sering melakukan tindakan criminal dan kekerasan,kejadian kekerasan tertinggi muncul pada umur 15-25 tahun yaitu pria pada masa kadar testosterone tertinggi. Testosteron tidak memperkuat perilaku kekerasan,tetapi Testosteron mengubah reaksi seseorang kepada berbagai stimulus.


Sinapsis Serotonin dan Perilaku Agresif


Beberapa rangkaian bukti memperlihatkan adanya kaitan antara perilaku agresif dan 

pelepasan serotonin yang rendah

Manusia

Banyak studi yang mengungkapkan adanya kadar perputaran Serotonin yang 
rendah pada individu yang memiliki sejarah perilaku kekerasan,termasuk individu 
yang ditahan karena tindakan pembakaran dan kejahatan kekerasan serta individu 
yang mencoba bunuh diri dengan tindakan kekerasan.

Sebuah Studi tentang anak dan remaja yang memiliki sejarah perilaku 
agresif,mengungkapkan bahwa individu yang memiliki kadar perputaran serotonin 
rendah,lebih mungkin terlibat dalam masalah perilaku agresif dua tahun ke depan.  
Mengubah sintesis Sirotonin dapat dengan cara mengubah pola makan.

Gen yang mengode triptofan hidroskilase pada tiap individu bervariasi,yaitu enzim 
yang mengubah triptofan menjadi serotonin. Terdapat satu enzim  lagi yang 
mengatur produksi enzim monoamina oksidae (MOA) yaitu enzim yang memecah 
serotonin menjadi senyawa kimia inaktif.

Menghindar , Ketakutan , dan Kecemasan

Ketakutan,kecemasan,dan Amigdala
Respons terhadap sesuatu seperti suara bising yang mengejutkan dikenal sebagai 
“reflex terkejut”,yang berlangsung dengan sangat cepat. Walaupun anda tidak 
belajar untuk takut terhadap suara bising,tetapi reaksi terhadap suara bising bisa 
berubah karena suasana hati atau pengalaman sebelumnya. Jika anda sudah 
terlebih dahulu tegang maka reflex kejut akan semakin kuat.

Peneliti telah menentukan area otak yang paling berperan untuk meningkatkan 
reflex kejut. Satu area terpenting ini yaitu amigdala. Output dari amigdala yang 
menuju hipotalamus mengendalikan respons ketakutan autonom,contohnya 
peningkatan tekanan darah.

Aktivasi Amigdala Manusia

Banyak studi yang memanfaatkan hasil pindai FMRI untuk mengukur aktivitas otak 
ketika melakukan pengamatan terhadap foto wajah. Biasanya,seseorang mengalami 
emosi yang kuat ketika mereka melihat orang lain mengekspresikan 
emosinya,terutama kemarahan dan ketakutan. 

Respons Amigdala terhadap ekspresi kemarahan dan ketakutan juga bergantung 
pada arah tatapan,tetapi tidak sesederhana yang kita fikirkan. Untuk ekspresi marah 
di studi yang mengungkapkan bahwa terjadi peningkatan respons amigdala yang 
lebih tinggi pada wajah yang menghadap pengamat. Dan studi lain mengungkapkan 
respons lebih tinggi pada wajah yang menghadap ke samping.





Kerusakan Amigdala pada manusia

Individu yang menderita kelainan genetic langka dengan nama penyakit Urbach-Wiethe,menderita balur-balur pada kulitnya,sebagian besar penderita penyakit ini mengakumulasi kalsium pada amigdala hingga amigdala rusak. Sebagian individu lain mengalami kerusakan amigdala akibat serangan stroke atau bedah otak. 

Individu yang menderita kerusakan amigdala tidak kehilangan emosi mereka,akan tetapi mereka menderita gangguan dalam proses pengolahan informasi emosi ketika sinyal emosi tersebut samara tau rumit. Penderita kerusakan amigdala tidak dapat memfokuskan perhatian kepada stimulus emosional seperti yang dapat dilakukan oleh individu lain,mereka juga sering kali tidak mengenali emosi individu lain pada foto.

       Obat Penurun Kecemasan

       Sedikit kecemasan dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat karena dapat 
       memperingati kita akan bahaya. Akan tetapi,sebagian individu memiliki ketakutan 
       dan reaksi yang berlebihan terhadap peristiwa yang menakutkan,yang sebagian besar 
       dikarenakan factor genetic.

       Obat-obatan yang ditujukan untik mengendalikan kecemasan,mengubah aktivitas 
       pada sinapsis Amigdala. Penyuntikan obat yang menstimulasi CCK ke dalam Amigdala 
       akan menigkatkan reflex kejut,dan obat yang menghambat reseptor GABA tipe B dapat 
       memicu rasa panik. Pada dasarnya,obat dapat menurunkan kecemasan baik melalui 
       penghambatan CCk maupun peningkatan aktivasi GABA.


Gambar ( Reseptor Gaba ) 
keputusan yang buruk sehingga kehilangan pekerjaan, pernikahan, dan tabungan-nya. Ketika di uji di laboratorium, ia dapat memperkirakan hasil dari beragam keputusan dengan cemerlang. Berdasarkan akal sehat, setiap pilihan memerlukan pertimbangan antara norma-norma dan emosi, yaitu bagaimana perasaan kita terhadap hasil akhir dari pilihan kita.

Kesimpulan pada bahasan ini

1.      berdasarkan teori james, aspek perasaan dari sebuah emosi adalah hasil umpan-balik dari aksi otot maupun organ.
2.      Sejalan dengan teori james, penderita gangguan respons autonom memiliki perasaan emosional yang lebih lemah, walaupun mereka dapat terus mengidentifikasi aspek kognitif emosi
3.      Umpan balik dari pergerakan wajah, anaps, dan postur tubuh dapat memperkuat perasaan emosional
4.      Penderita gangguan emosi parah mengalami kesulitan untuk membayangkan respons emosional dari hasil akhir tersebut. Oleh karena itu, mereka sering kali membuat keputusan yang buruk
5.      Di satu sisi terkadang emosi dapat membuat panic seseorang dan membuat seseorang bertindak gegabah. Meskipun emosi dapat menjadi panduan yang berguna, sesekali kita perlu membatasi emosi

Modul 12.3

Stres dan Kesehatan


Pada awal perkembangan pengobatan ilmiah, dokter hanya memperbolehkan adanya sedikit kaitan antara keperibadian atau emosi dengan penyakit. Jika seseorang jatuh sakt, maka penyebabnya haruslah memiliki bentuk, misalkan virus atau bakteri.

Konsep Stres

            Istilah stres dan emosi sama-sama sulit didefinisikan dan dikuantifikasi. Banyak individu menggunakan sejumlah varian definisi stres yang dikemukakan oleh Hans Selye (1979), yang menyatakan bahwa stres adalah respon nonspesifik tubuh terhadap segala tuntutan yang ada. Selye menyimpulkan bahwa segala ancaman terhadap tubuh dan pengaruh spesifiknya akan memicu respons umum terhadap stres.

            Selye menyebutkan dengan sindrom adaptasi umum. Tahap awal sindrom tersebut dia beri nama dengan tahap peringatan ( alarm), yang ditandai dengan adanya peningkatan aktivitas sistem saraf simpatetik yang mempersiapkan tubuh untuk aktivitas darurat yang singkat. Dalam tahap kedua, yaitu tahap resistensi, terdapat penurunan respons sistem saraf simpatetik, tetapi korteks adrenal menyekresikan kortisol dan hormon lainnya yang berguna bagi tubuh untuk mempertahankan kesigapan dalam waktu yang lama, infeksi perkelahian, dan penyembuhan luka. 

            Tubuh akan memasuki tahap ketiga setelah terjadi stres berintensitas tinggi yang berlangsung lama, tahap tersebut bernama tahap kelelahan ( exhaustion). Di  dalam tahap tersebut individu menjadi lelah, pasti, dan rentan, yang disebabkan karena sistem saraf dan sistem imunitas tidak memiliki cadangan energi yang cukup untuk mendukung respons mereka sendiri yang mengalami peningkatan.

Penyakit yang terkait dengan stres dan permasalahan psikis, banyak ditemukan di masyarakat yang sudah mengalami kemajuan seperti saat ini, yang mugkin terjadi karena perbedaan tipe stres yang kita hadapi.  ( Bruce Mcewen 2000, hlm 173) mengajukan sebuah definisi stres yang telah diperbaiki, yaitu “ peristiwa yang diinterpretasikan oleh individu sebagai sesuatu yang mengancam serta menimbulkan respons berbeda dengan definisi tersebut berbeda dengan definisi yang diajukan selye, tetapi memiliki ide yang sama, yaitu banyak perstiwa yang dapat menyebabkan stres dan tubuh bereaksi terhadap semua jenis stres tersebut dengan cara yang serupa.

Stres Dan Sumbu Hipotalamus Hipofisisadrenal

            Stres mengaktivasi dua sistem pada tubuh. Sistem pertama, yaitu sistem saraf autonom yang mempersiapkan tubuh untuk aktivitas darurat yang singkat respons “ menyerang atau melarikan diri”. Sistem kedua, yaitu sumbu hipotalamus- hipofsisadrenal ( sumbu HPA ) hipotalamus, kelenjar pituatari, dan korteks adrenal. Aktivitasi hipotalamus akan memivu kelencar pituitar anterior  untuk menyekresihormon adrenokortikotropik ( ACTH).

            Hormon ACTH akan menstimulisasikan korteks adrenal manusia untuk menyekresikan kortisol yang akan meningkatkan aktivitas metabolisme serta meningkatakan kadar gula dan nutrien lain ( di dalam darah). Jika sistem saraf aunotom dibandingkan dengan sumbu HPA, maka reaksi sumbu HPA lebih lambat, tetapi sumbu HPA menjadi respons yang dominan terhadap penyebab stres yang terjadi dalam waktu lama.


            Banyak penelitian yang menaggap kortisol sebagai “hormon stres” dan mereka mengukur kadar kortisol sebagai indikator tingkat stres seseorang. Muncul satu permasalahan, yaitu kadar kortisol seseorang mengalami peningkatan dan penurunan di siang hari yang dilakukan pada jam yang berbeda tidak dapat dibandingkan. Kortisol membantu tumbuh metabolisasi energi yang digunakan untuk mengatasi situasi sulut, tetapi efeknya dipengaruhi oleh besarnya kadar kortisol itu sendiri. Peningkatan kadar kortisol secara sementara akan meningkatkan aktivitas sistem imunitas, sehingga membantu sistem tersebut untuk menggulangi penyaki, namun peningkatan kortisol dalam waktu lama akan mengganggu sitem imunitas.

Sistem Imunitas

            Sistem imunitas terdiri dari sel-sel yang melindungi tubuh dari substansi pengganggu, seperti virus dan bakteri. Apabila sistem imunitas menyerang sel-sel normal. Maka kita menyebutnya dengan penyakit autoimun ( autoimmue disease). Myasthenia gravis salah satu contoh penyakit autoimun, contoh lainnya adalah rheumatoid arthritis.
Leukosit
            Elemen terpenting dalam sistem imunitasi adalah leukosit atau yang dikenal sebagai sel darah putih. Kita membedakan beberapa tipe leukosit termasuk sel B, sel T, sel pembunuh alami.
  • Ø  Sel B adalah sel yang sebagian besar mengalami pendewasaan disumsum tulang. Sel B menyekresi antibodi, yaitu protein berbentuk huruf Y yang melekat pada antigen jenis tertentu. Setiap sel memiliki protein permukan yang disebut antigen ( molekul penghasil antibodi), dan antigen dalam tubuh kita sama uniknya dengan sidik jari. Sel- sel Bb menegenali antigen “ alami”, tetapi apabila mereka menemukan antigen yang tidak dikenali, mereka akan menyerang sel tersebut.serangan tersebut melindungi tubuh dari virus dan bakteri serta menyebabkan penolakan organ transplan, kecuali dokter melakukan prosuder khusus untuk menanggulangi serangan tersebut. Setelah tubuh menghasilkan antibodi untuk subtansi pengganggu tersebut, tubuh akan “ meningkat” subtantsi pengganggu tersebut. Apabila substansi pengganggu muncul kembali, maka tubuh dengan cepat akan memproduksi antibodi yang sama.
  • Ø  Sel T mengalami pendewasaan pada kelenjar timus. Beberapa jenis sel T menyerang substansi pengganggu ( tanpa menyekresi antibodi ), sebagian lain membantu perbanyak sel T atau sel B.
  • Ø  Sel pembunuh alami adalah leukosit jenis lain yang menyerang sel –sel tumor dan sel yang telah terinfeksi virus. Sel B atau sel T menyerang jenis-jenis antigen asing tertentu, sementara sel pembunuh alami menyerang semua pengganggu tanpa ada perbedaan.



            Sebagian bentuk respons adanya infeksi, leukosit dan sel-sel lain membentuk protein-protein kecil yang disebut dengan sitokin contohnya interleukin-1 atau IL-1 yang melawan infeksi dan berkomunikasi dengan otak untuk melakukan perilaku yang sesuai.

            Sitokin adalah cara yang ditempuh oleh sistem imunitas untuk memberitahu otak  bahwa tubuh sedang sakit. Sitokin tidak melintasi sawar darah otak, tetapi sitokin menstimulasi reseptor pada vagusyang meneruskan informasi ke sel-sel hipokampus tersebut juga dapat melepaskan sitokin.

            Pelepasan sitokin di otak menimbulkan gejala-gejala penyakit antara lain demam, mengantuk, lesu, nafsu makan turun, sitokin bertanggung jawab terhadap sesuatu yang disebut oleh selye sebagai sindrom adaptasi umum. Gejala-gejala penyakit tersebut merupakan hasil infeksi tindakan tubuh yang informasinya dibawa oleh sitoksin.

            Sebagaian besar individu menyangka bahwa demam dan kelelahan merupakan strategi hasil evolusi yang telah kita lakukan untuk melawan penyakit. Demam yang tidak terlalu tinggi dapat memabntu melawan sejumlah infeksi. Tidur dan keadaan inaktif merupakan cara pengonservasian energi, sehingga tubuh dapat menghasilkan energi lebih banyak untuk serangan imunitas dalam melawan infeksi.

PENGARUH STRES PADA IMUNITASI

            Berlawanan dengan asumsi yang dulu diyakini pakar biologi, saat ini kita tahu bahwa sistem saraf memiliki kendala besar terhadap sistem imunitas. Ilmuan yang mempelajari hubungan tersebut memberikan nama psikoneuroimunologi, yaitu ilmu yang mempelajari bagimana pengalaman – terutama pengalaman yang memicu stres memengaruhi sistem imunitasi.

            Stres dapat mempengaruhi sistem imunitas melalui beberapa cara sebagai bentuk respons terhadap pengalaman yang memicu stres, sistem saraf mengaktivikasi sistem imunitas untuk meningkatkan produksi sel pembunuh alami, leukosit pemakan sisa-sisa, dan sekresi sitokin.

            Bahkan, ketakutan dan amarah dapat meningkatkan ( aktivitas) sistem imunitas secara sementara. Walaupun respons tubuh tetap terhadap stres dalam waktu yang memang bermanfaat, tetapi respons stres yang beralangsuang lama akan menyebabkan kelelahan bagi tubuh sama seperti penyakit yang berlangsung lama.

            Sebuah hipotesis mengenai hal tersebut menyatakan bahwa peningkatan kadar kortisol dalam waktu lama akan meningkatkan energi agar digunkan untuk meningkatkan kadar gula darah dan metabolisme, sehingga energi yeng seharusnya digunakan  untuk menyintesis protein termasuk protein dalam sitem imunitasi akan teralihkan.

            Stres yang berlangsung lama dapat mengganggu hipokampus. Pelepasan kortisol terjadi ketika kita stres, dan kortisol meningkatkan aktivitas metabolisme di seluruh tubuh. Apabila aktivitas metabolisme di hipokampus meningkat, maka sel-sel hipokampus menjadi rentan.

            Berbeda dari keadaan normal, zat –zat beracun atau stimunilasi berlebihan dapat merusak atau membunuhb neuron-neouron hipokampus. Kadar tinggi kortisol mungkin menjadi penyebab rusaknya hipoampus sehingga timbul penurunan ingatan yang terjadi pada banyak individu yang lanjut usia.

            Individu lanjut usia yang memiliki kadar kortisol tertinggi adalah individu yang cenderung memiliki hipokampus terkecil dan mengalami masalah ingatan terberat. Stres juga mengganggu kempuan adaptasi, neuron hipokampus. Stres sosial yang menyebabkan kekurangan ( neouron) yang diderita seumur hidup.

            Studi lain telah mengungkapkan bahwa pelangalaman pemicu stres yang terjadi pada masa dewasa, sementara dapat mengurangi produksi neouron hipokamus yang baru.

Gangguan Stres Pascatrauma

            Masyarakat telah lama menyadari bahwa setelah kembali dari peperangan, banyak prajurit yang rentan terhadap kecemasan yang berlangsung lama serta rasa takut. Dahulu, kondisi tersebut dikenal dengan nama kelelahan perang atau kejutan selongsong nama gangguan stres pascatrauma (posttraumatic stress disorder – PTSD ). Kondisi PTDS terjadi pada bagian individu yang telah mengalami kejadian yang sangat menakutkan.

            Gejala-gejalanya akan berlangsung terus hingga sebulan setelah kejadian, seperti mimpi buruk tentang peristiwa tersebut, mengindari mengingat peristiwa tersebut, serta pembangkitan aktivitas yang berlebihan sebagai bentuk respons suara  dan stimulus lain. Akan tetapi, tidak sema individu yang mengalami peristiwa yang sangat menakutkan menderita PTSD. Individu yang memperhatikan stres tingi setelah peristiwa traumatik tidak selalu mengalami PTSD di kemudian hari.

            Mengapa hal tersebut terjadi ? penderita PTSD memiiki hipokampus yang lebih kecil dari normal. Hal tersebut dapat merepresentaskan adanya sebuah presdiposisi perbedaan biologis individu tertentu terhadap  PTSD atau pengecilan ukuran hipokampus tersebut dapat terjadi setelah individu mengalami PTSD.

            Stres tinggi akan meningkatkan sekresi kortisol dan kadar koristol yang tinggi akan merusak hipokampus pad penderita PTSD. Akan tetapi, penderita PTSD memperlihatkan kadar kortisol yang lebih rendeh dari normal, yaitu pada sesaat setelah peristiwa traumatis terjadi dan berminggu-minggu setelahnya.

            Satu hipotesis lagi, yaitu bahwa mungkin individu yang memiliki kortosil dengan kada rendah tidak memiliki cukup pertahanan untuk menanggulangi stres, sehingga lebih rentan untuk menanggulangi merusak dan lebih rentan untuk penderita PTSD dibanding individu lain.

            Untuk menetukan seseorang memiliki predisposisi terhadap PTSD. Hasil pemerikasaan mengungkapkan bahwa kembaran yang tidak menderita PTSD juga memiliki ukuran himpokampus yang lebih kecil dari normal. Mungkin, sejak awal kedua pria kembar memiliki ukuran hipokampus yang lebih kecil dari normalnya sehingga meningkatakan kerentanan terhadap PTSD.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bab 11 Perilaku Reproduksi

Bab 7 Sistem Sensorik Lainnya

Bab 13 Biologi Pembelajaran dan Memori